Davin pulang kerja lebih cepat dari biasanya sore itu, langkahnya ringan meskipun tidak ada alasan jelas. Di kereta, ia beberapa kali membuka kameranya, memastikan foto yang tadi siang masih ada. Setiap kali melihat layar kecil itu, sensasi yang sama menyeruak: jantungnya berdegup lebih kencang, dan sudut bibirnya terangkat tanpa sadar.

Di apartemen, ia menyalakan lampu meja dan menyalin hasil jepretan hari ini ke laptop. Ratusan file bergulir di layar, tapi matanya hanya terpaku pada satu gambar—senyum itu. Ia memperbesar foto, melihat detail yang mungkin terlewat saat di food court: kilau samar di matanya, lekuk bibir yang tidak sempurna namun memancarkan ketulusan.

“Kenapa… terasa beda?” gumamnya pelan.

Ia bukan orang yang mudah terkesan. Sudah bertahun-tahun ia memotret wajah-wajah asing di jalan, anak-anak yang tertawa, pasangan yang bercanda, bahkan model profesional. Tapi foto ini—foto yang diambil tanpa perencanaan, tanpa konsep—menimbulkan sensasi yang tak bisa ia jelaskan.

Davin memiringkan kepala, mencoba mencari tahu apa yang membuatnya terpikat. Apakah sudut pengambilan gambarnya? Pencahayaan dari lampu neon yang kebetulan pas? Atau… karena itu adalah senyum yang tulus, senyum yang lahir bukan untuk kamera?

Ia memindahkan foto itu ke folder baru dan memberi nama sederhana: “Smile_01”. Tidak ada alasan khusus, hanya dorongan untuk memisahkannya dari ratusan file lain.

Rasa ingin tahu mulai menguasai pikirannya. Siapa dia? Apa yang membuatnya tersenyum begitu hangat? Apakah senyum itu sering muncul, atau hanya sekali-sekali? Davin memejamkan mata sejenak, mencoba mengingat momen tadi: suara riuh food court, aroma makanan, dan perempuan yang duduk sendirian di meja sebelah.

Senyum itu menghantui pikirannya, bahkan ketika ia mencoba mengalihkannya dengan menonton film atau bermain gitar sebentar. Pada akhirnya, ia kembali membuka laptop, menatap layar yang menampilkan foto yang sama.

Sebuah dorongan aneh merayapi dirinya—ingin melihatnya lagi. Tidak untuk berbicara, tidak untuk memulai sesuatu. Hanya ingin memastikan bahwa senyum itu nyata, bukan sekadar hasil bidikan kamera.

Davin menutup laptop, menyandarkan tubuh ke kursi, dan mendapati dirinya tersenyum samar. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa punya sesuatu untuk ditunggu esok hari.