Hujan akhirnya mereda menjelang malam. Café Celestia mulai lengang, pengunjung satu per satu meninggalkan ruangan, menyisakan aroma kopi yang menempel di udara. Raka melirik jam di pergelangan tangan—waktu berjalan tanpa ia sadari.

Aluna meraih jaketnya, gerakan ringan namun terasa seperti isyarat berakhirnya sesuatu.

“Sepertinya aku harus pulang sebelum hujan turun lagi,” katanya sambil tersenyum.

Raka ikut menutup laptopnya, tiba-tiba tidak tahu harus berkata apa. Ada keengganan samar yang mengganjal, sesuatu yang bahkan tidak ia mengerti.

“Iya... hati-hati di jalan,” ucapnya pelan.

Mereka berjalan berdampingan keluar dari café. Udara malam terasa segar, dengan sisa aroma hujan yang khas. Jalanan basah memantulkan lampu kota, menciptakan bayangan-bayangan yang bergetar.

Sesampainya di pinggir jalan, Aluna berhenti.

“Terima kasih sudah berbagi meja,” katanya. Senyum itu lagi—hangat, sopan, tapi menyisakan sesuatu yang lebih.
“Sama-sama,” jawab Raka, ingin menambahkan sesuatu tapi lidahnya kelu.

Hening sejenak. Aluna merapikan rambutnya yang masih lembap, lalu melambaikan tangan kecil.

“Mungkin sampai jumpa lagi?”

Dan kemudian ia pergi, langkahnya menjauh di trotoar yang licin.

Raka berdiri memandangi punggungnya yang semakin mengecil. Ada sensasi aneh di dadanya, seolah ia baru saja terbangun dari mimpi yang belum selesai. Ia merogoh saku, meraih ponsel, menatap layar kosong. Tidak ada kontak, tidak ada jejak—hanya nama yang bergema di kepalanya: Aluna.

Dalam perjalanan pulang, bayangan tadi terus melekat. Senyum itu, suara tawanya, dan percakapan sederhana tentang hujan.

Kenapa rasanya ada sesuatu yang tertinggal?

Malam itu, di apartemen yang sama dan rutinitas yang sama, Raka membuka jurnalnya dan menulis satu kalimat:

“Aku tidak tahu kenapa, tapi hari ini terasa seperti titik awal dari sesuatu yang tidak bisa kujelaskan.”

Ia menutup laptop, menatap kosong ke langit-langit. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia berharap besok tidak sekadar menjadi hari yang sama.