Sejak pertemuan kedua itu, hari-hari Raka terasa berbeda. Ia masih menjalani rutinitas yang sama—kantor, laptop, dan pulang larut malam—tetapi ada sesuatu yang berubah. Di sela-sela kesibukan, pikirannya sering kembali ke satu nama: Aluna.

Notifikasi ponselnya kini tak lagi sekadar urusan kantor. Obrolan singkat di pesan singkat—tentang buku, musik, atau sekadar komentar ringan soal cuaca—membawa semacam kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

“Lagi di Celestia?” tulis Aluna suatu sore.
“Belum. Kamu?”
“Baru sampai. Café ini ternyata punya playlist baru, kamu pasti suka.”

Raka tersenyum kecil pada layar ponsel, merasakan getaran ringan yang anehnya menenangkan. Ia tidak ingat kapan terakhir kali ia benar-benar menanti percakapan dengan seseorang.

Malam itu, ia kembali ke Café Celestia. Aluna sudah duduk di meja mereka—kini meja itu rasanya seperti milik mereka berdua. Obrolan mengalir alami, tanpa jeda canggung. Mereka membicarakan mimpi-mimpi yang jarang dibicarakan dengan orang lain.

“Aku sering merasa hidupku ini seperti sketsa yang belum selesai,” kata Raka, menatap secangkir kopinya.
“Mungkin kamu hanya belum menemukan warna yang tepat,” jawab Aluna sambil tersenyum.

Kalimat itu sederhana, tapi terasa seperti kunci yang membuka sesuatu di dalam dirinya.

Setiap pertemuan meninggalkan kesan yang sama: ringan namun menggantung. Raka mulai menantikan waktu-waktu seperti ini—detik-detik di mana dunia luar seolah berhenti, menyisakan mereka berdua dan percakapan yang tak pernah terasa cukup.

Di perjalanan pulang, Raka menyadari satu hal:

Aku ingin tahu lebih banyak tentangnya. Lebih dari sekadar percakapan di café, lebih dari pesan singkat di layar ponsel.

Benih itu mulai tumbuh, pelan tapi pasti, dan Raka tidak yakin apakah ia siap untuk apa yang akan datang. Tapi untuk pertama kalinya, ia tidak keberatan untuk menanti.