Raka menatap layar laptopnya malam itu. Untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, kursor yang berkedip di halaman kosong tidak membuatnya cemas. Jari-jarinya bergerak pelan, menuliskan kalimat demi kalimat yang mengalir seperti air.
Bukan catatan kantor, bukan daftar pekerjaan, tapi cerita.
Setiap kata terasa hidup—seolah semua warna yang pernah memudar kini kembali, memenuhi ruang kosong di dalam dirinya. Ia tidak perlu memikirkan alur; cerita itu seperti sudah menunggu di ujung jemarinya. Dan di antara setiap baris, ada satu nama yang terus mengisi pikirannya: Aluna.
“Dia datang seperti hujan di sore hari—tanpa peringatan, tapi membawa ketenangan yang tak pernah kusadari aku butuhkan.”
Raka berhenti sejenak, membaca ulang tulisannya. Ada rasa lega yang sulit dijelaskan. Rasanya seperti bernapas lagi setelah sekian lama terbenam.
Keesokan harinya, ia kembali ke Café Celestia. Aluna sudah menunggunya di meja mereka.
“Kamu terlihat berbeda,” katanya, memperhatikan ekspresi Raka.“Aku mulai menulis lagi,” jawab Raka, tak bisa menyembunyikan senyum kecil.
Aluna tersenyum lebar, seolah ikut merasakan kebahagiaan itu.
“Bagus. Aku selalu percaya setiap orang punya caranya sendiri untuk kembali merasa hidup.”
Mereka menghabiskan sore dengan percakapan ringan—tentang lukisan yang sedang dikerjakan Aluna, tentang cerita yang mulai kembali mengalir di kepala Raka. Di antara tawa dan kopi yang mulai mendingin, ada perasaan samar bahwa sesuatu sedang berubah.
Malam itu, Raka menulis lagi. Bukan hanya untuk dirinya, tapi seakan setiap kata yang ia tulis adalah cara untuk menyimpan setiap percakapan, setiap tawa, setiap tatapan mata Aluna.
Mungkin ini yang disebut menemukan kembali bagian dirimu yang hilang.