Hari Senin itu, Davin melangkah ke food court dengan langkah ringan yang sudah menjadi kebiasaan baru. Namun, yang ia temukan hanyalah papan besar bertuliskan:
“Food Court Tutup untuk Renovasi – 3 Bulan ke Depan.”
Langkahnya terhenti. Suara obrolan dan denting sendok yang biasanya menyambutnya kini berganti gema kosong dari ruangan yang sudah dibatasi tirai plastik. Udara seakan kehilangan warna. Davin berdiri lama di depan papan pengumuman itu, merasakan kekosongan yang asing menggigit dadanya.
Tiga bulan…?
Ia mencoba menenangkan diri. Tidak apa-apa. Mungkin aku bisa menemuinya di tempat lain. Tapi ia sadar: ia bahkan tidak tahu namanya, tidak tahu di mana ia bekerja, atau di mana ia biasa menghabiskan waktu selain food court ini. Satu-satunya “akses” yang ia punya hilang begitu saja.
Hari-hari berikutnya terasa lebih panjang dari biasanya. Jam makan siang kembali hambar. Davin duduk di kantin kantor bersama Reza, tetapi setiap kali melihat meja kosong di sekitarnya, ia merasa kehilangan sesuatu yang penting—sebuah kebiasaan kecil yang sudah menjadi candu.
Di rumah, folder “Smile” kini menjadi pelarian satu-satunya. Ia membuka foto-foto itu berulang kali, tapi semakin sering ia melihat, semakin dalam rasa rindunya menggerogoti. Foto-foto itu tak lagi memberi ketenangan; justru membuatnya sadar betapa ia merindukan momen nyata—melihat senyum itu secara langsung, mendengar suara sekitarnya, merasakan keberadaannya di dekatnya.
Namun, jauh di dalam dirinya, Davin tahu ini bukan sekadar kebosanan. Ia kehilangan sesuatu yang bahkan belum pernah benar-benar ia miliki—sesuatu yang sudah menjadi bagian dari hidupnya tanpa ia sadari.
Malam itu, ia menatap folder “Smile” dengan perasaan kosong. Senyum-senyum itu masih ada, puluhan jumlahnya, tapi efeknya tidak lagi sama. Untuk pertama kalinya sejak awal candu itu tumbuh, Davin benar-benar merasa kehilangan.