Ada hari-hari ketika kau duduk tak jauh dariku.
Tidak saling menyapa. Tidak saling menoleh. Hanya berbagi ruang dan waktu tanpa pernah berbagi kata.
Tapi entah bagaimana, itulah hari-hari yang paling bermakna dalam hidupku.
Aku tidak tahu sejak kapan aku mulai menantikan kehadiranmu, bukan untuk bicara, apalagi berharap. Hanya untuk memastikan bahwa kau masih di sana—menjadi versi paling sunyi dari semesta yang begitu luas. Kau tidak bersinar terang, Fana. Tapi kau menenangkan seperti matahari pagi yang sinarnya belum menyakitkan mata.
Kau hadir seperti jeda di antara hiruk pikuk. Seperti keheningan yang tidak mencanggung. Seperti kalimat yang tidak selesai, tapi terasa lengkap.
“Fana, diam yang kau tinggalkan di ruangan itu tetap terasa, bahkan setelah kau pergi.”
Aku belajar bahwa tidak semua kedekatan butuh obrolan. Tidak semua rasa butuh konfirmasi. Kadang, keberadaanmu saja sudah cukup menjadi jawaban bagi pertanyaan yang tak pernah sempat kubentuk.
Hari-hari berlalu seperti daun yang gugur satu-satu: pelan, tak terdengar, tapi indah. Dan setiap daun itu adalah satu momen yang kucatat diam-diam. Senyum tipismu saat membaca, langkah ringanmu saat berjalan di lorong, bahkan cara kau menggulung lengan baju saat mulai serius belajar—semuanya terekam lebih jelas daripada kata-kata.
“Tanpa satu pun kata, kau sudah berkata lebih banyak dari siapa pun yang pernah duduk di sisiku.”
"Bukan sapa yang membuat segalanya berarti. Tapi perasaan yang bertahan meski tak pernah diberi ruang untuk tumbuh. Dan dalam keheningan, cinta belajar berbicara lewat segalanya yang tak dikatakan."