Ada hari-hari ketika kau duduk tak jauh dariku.

Tidak saling menyapa. Tidak saling menoleh. Hanya berbagi ruang dan waktu tanpa pernah berbagi kata.

Tapi entah bagaimana, itulah hari-hari yang paling bermakna dalam hidupku.

Aku tidak tahu sejak kapan aku mulai menantikan kehadiranmu, bukan untuk bicara, apalagi berharap. Hanya untuk memastikan bahwa kau masih di sana—menjadi versi paling sunyi dari semesta yang begitu luas. Kau tidak bersinar terang, Fana. Tapi kau menenangkan seperti matahari pagi yang sinarnya belum menyakitkan mata.

Kau hadir seperti jeda di antara hiruk pikuk. Seperti keheningan yang tidak mencanggung. Seperti kalimat yang tidak selesai, tapi terasa lengkap.

Aku mulai memahami betapa berharganya hal-hal kecil yang tidak dikatakan.
Bagaimana tatapanmu ke luar jendela lebih jujur daripada obrolan panjang.
Bagaimana caramu menyibukkan diri dengan buku—bukan untuk terlihat pintar, tapi karena memang dunia di halaman-halaman itu lebih kau percaya daripada keramaian di luar sana.

Dan aku mengamati. Tanpa pernah merasa mengintip.
Karena yang kulihat bukan wajahmu, tapi keteduhan yang memancar dari cara kau menunduk, dari caramu diam, dari caramu tidak berusaha menjadi siapa pun selain dirimu sendiri.

“Fana, diam yang kau tinggalkan di ruangan itu tetap terasa, bahkan setelah kau pergi.”

Pernah suatu sore, hujan turun begitu pelan. Kau duduk di seberang, mengusap lenganmu karena dingin. Tak ada yang luar biasa dari kejadian itu, kecuali bahwa aku masih mengingatnya, padahal sudah berlalu berminggu-minggu.
Karena untuk orang seperti aku, yang mencintai tanpa ingin memiliki, kenangan-kenangan kecil seperti itu adalah perayaan yang tidak butuh pesta.

Aku belajar bahwa tidak semua kedekatan butuh obrolan. Tidak semua rasa butuh konfirmasi. Kadang, keberadaanmu saja sudah cukup menjadi jawaban bagi pertanyaan yang tak pernah sempat kubentuk.

Hari-hari berlalu seperti daun yang gugur satu-satu: pelan, tak terdengar, tapi indah. Dan setiap daun itu adalah satu momen yang kucatat diam-diam. Senyum tipismu saat membaca, langkah ringanmu saat berjalan di lorong, bahkan cara kau menggulung lengan baju saat mulai serius belajar—semuanya terekam lebih jelas daripada kata-kata.

Aku tidak tahu bagaimana cara berhenti memperhatikanmu. Tapi lebih dari itu, aku juga tidak ingin berhenti.
Karena dalam perhatianku yang diam, aku merasa hidup.
Dan dalam hidupku yang sunyi, kau menjadi ritme.

“Tanpa satu pun kata, kau sudah berkata lebih banyak dari siapa pun yang pernah duduk di sisiku.”

Jika cinta adalah keberanian untuk menyapa, maka mungkin aku pengecut.
Tapi jika cinta adalah kemampuan untuk merayakan keberadaan seseorang, bahkan tanpa disadari oleh orang itu, maka aku sedang mencintaimu dengan cara paling utuh yang bisa kumengerti.


"Bukan sapa yang membuat segalanya berarti. Tapi perasaan yang bertahan meski tak pernah diberi ruang untuk tumbuh. Dan dalam keheningan, cinta belajar berbicara lewat segalanya yang tak dikatakan."