Ada luka-luka yang tidak berdarah.
Tidak tampak. Tidak bisa dijelaskan. Tapi hidup dan tinggal di dalam dada seperti debu yang menumpuk dari waktu ke waktu. Luka itu bernama: aku tahu siapa kamu, tapi kamu tidak pernah tahu siapa aku sebenarnya.
Aku pernah melihatmu tertawa dengan orang lain. Dengan cara yang belum pernah kulihat sebelumnya. Kau seperti air terjun—deras, bebas, dan tanpa beban. Saat itu, aku hanya bisa mengamati dari jauh, sambil berpura-pura menulis sesuatu agar tidak tampak sedang memperhatikan.
Aku tidak pernah menjadi tokoh dalam cerita hidupmu, Fana. Bahkan mungkin tak pernah menjadi latar belakang. Aku hanyalah pelintas diam yang berdiri terlalu lama di antara jeda-jeda waktumu. Tapi entah kenapa, keberadaanmu telah menjadi paragraf panjang dalam kehidupanku yang tadinya hening.
Aku cemburu. Tapi cemburu kepada siapa?
“Fana, aku mencintaimu bukan karena aku ingin kau mencintaiku kembali. Tapi karena aku tahu, mencintaimu seperti ini adalah satu-satunya cara bagiku untuk tetap hidup dengan hati yang jujur.”
"Aku tidak akan pernah cukup penting untuk kau sadari, tapi aku terlalu tulus untuk menghapusmu begitu saja."
Dan di antara perasaan-perasaan yang belum sempat kuberi nama, aku belajar satu hal: mencintaimu seperti ini berarti belajar menahan luka dengan cara yang tidak menyalahkan siapa pun.
Bahkan diriku sendiri.
"Ada luka yang tidak muncul karena ditinggalkan, tapi karena terlalu lama berdiri di luar pintu yang tak pernah terbuka. Dan dalam diam itu, cinta belajar menjadi sabar, meski harus terluka tanpa alasan."