Ada luka-luka yang tidak berdarah.

Tidak tampak. Tidak bisa dijelaskan. Tapi hidup dan tinggal di dalam dada seperti debu yang menumpuk dari waktu ke waktu. Luka itu bernama: aku tahu siapa kamu, tapi kamu tidak pernah tahu siapa aku sebenarnya.

Aku pernah melihatmu tertawa dengan orang lain. Dengan cara yang belum pernah kulihat sebelumnya. Kau seperti air terjun—deras, bebas, dan tanpa beban. Saat itu, aku hanya bisa mengamati dari jauh, sambil berpura-pura menulis sesuatu agar tidak tampak sedang memperhatikan.

Ada suara kecil di dalam diriku yang berkata,
"Itu bukan untukmu."
Dan meski aku tahu, aku tetap merasa seolah ditinggalkan, padahal tidak pernah dijemput.

Aku tidak pernah menjadi tokoh dalam cerita hidupmu, Fana. Bahkan mungkin tak pernah menjadi latar belakang. Aku hanyalah pelintas diam yang berdiri terlalu lama di antara jeda-jeda waktumu. Tapi entah kenapa, keberadaanmu telah menjadi paragraf panjang dalam kehidupanku yang tadinya hening.

Aku cemburu. Tapi cemburu kepada siapa?

Kau tidak pernah menjanjikan apa pun. Bahkan menatapku pun mungkin hanya kebetulan. Tapi rasa itu tetap tumbuh—perlahan dan menyakitkan.
Dan yang lebih menyakitkan adalah menyadari bahwa rasa ini tidak salah, hanya saja tak punya tempat untuk tinggal.

“Fana, aku mencintaimu bukan karena aku ingin kau mencintaiku kembali. Tapi karena aku tahu, mencintaimu seperti ini adalah satu-satunya cara bagiku untuk tetap hidup dengan hati yang jujur.”

Suatu kali aku melihatmu berjalan bersama seseorang. Aku tak mengenalnya, tapi aku tahu dia mengenalmu dengan cara yang belum pernah aku izinkan pada siapa pun di dunia ini.
Mereka berbagi tawa, cerita, dan langkah.
Sementara aku hanya berbagi bayanganmu dalam sunyi.

Aku pulang lebih cepat hari itu. Bukan karena marah, bukan juga karena patah. Aku hanya terlalu penuh.
Seperti gelas yang menampung terlalu banyak hujan.

Di kamar, aku tidak menangis. Tapi aku diam lama sekali.
Kadang luka tidak membuatmu bersuara. Ia hanya membuatmu tidak tahu harus bicara apa.

Aku menulis lagi malam itu. Tapi bukan surat.
Hanya satu kalimat yang terus berulang:

"Aku tidak akan pernah cukup penting untuk kau sadari, tapi aku terlalu tulus untuk menghapusmu begitu saja."

Dan di antara perasaan-perasaan yang belum sempat kuberi nama, aku belajar satu hal: mencintaimu seperti ini berarti belajar menahan luka dengan cara yang tidak menyalahkan siapa pun.

Bahkan diriku sendiri.


"Ada luka yang tidak muncul karena ditinggalkan, tapi karena terlalu lama berdiri di luar pintu yang tak pernah terbuka. Dan dalam diam itu, cinta belajar menjadi sabar, meski harus terluka tanpa alasan."