"Ada cinta yang tumbuh dalam diam, mekar tanpa disapa, gugur tanpa pernah menyentuh tanah."

Nara tidak pernah berniat mencintai Fana.
Pertemuan mereka biasa, tanpa petir atau pelangi—hanya tatapan singkat dan kehadiran yang perlahan menjadi terlalu berarti.
Di tengah riuh dunia yang bergerak cepat, Nara memilih mencintai dalam sunyi: lewat doa-doa malam, tulisan-tulisan yang tak pernah dikirimkan, dan perhatian-perhatian kecil yang tak pernah dimaksudkan untuk diketahui.

Novel ini bukan tentang romansa yang berhasil.
Bukan juga tentang patah hati yang tragis.
Ini adalah kisah tentang cinta yang tidak meminta balasan, tentang perasaan yang tumbuh diam-diam tapi mampu mengubah arah hidup.

Dalam sepuluh bab yang puitis dan kontemplatif, Surat-Surat Tanpa Nama membawa pembaca menyelami ruang terdalam dari cinta yang dewasa—cinta yang memilih diam bukan karena lemah, tapi karena mengerti bahwa tidak semua rasa harus berakhir menjadi kisah.

Dibalut dengan narasi intim dan reflektif, kisah ini adalah surat panjang dari jiwa yang mencintai, terluka, bertumbuh, lalu pulang. Bukan ke seseorang, tapi pada dirinya sendiri.


Untuk siapa novel ini?
Untuk mereka yang pernah mencintai tanpa bisa berkata.
Untuk mereka yang diam-diam mendoakan, lalu memilih pergi tanpa menyalahkan siapa-siapa.

 

Bab 1 — Aku Pernah Menulis, Tapi Tak Pernah Mengirimnya

Bab 2 – Ketika Aku Melihatmu Tanpa Berniat Mencintaimu

Bab 3 – Diam-diam Aku Menyapamu Lewat Doa

Bab 4 – Hari-Hari Tanpa Sapa Tapi Penuh Makna

Bab 5 – Surat yang Kutulis Saat Kau Terlambat Datang

Bab 6 – Luka yang Tidak Pernah Kau Tahu

Bab 7 – Semesta Menertawakanku, Tapi Aku Tetap Mencintai

Bab 8 – Jika Kau Tahu, Maukah Kau Tetap Diam?

Bab 9 – Kamu Tak Pernah Salah, Aku Juga Tidak

Bab 10 – Mungkin Ini Caraku Pulang, Tanpa Harus Kembali

Epilog – Surat Terakhir yang Tidak Akan Pernah Kukirimkan